Kabarnusa24.com || Politik uang selalu digunakan sebagai strategi pamungkas politikus untuk memobilisasi warga dalam setiap kontestasi elektoral. ‘No money no vote’ atau tidak ada uang tidak ada suara, begitulah kira-kira, mayoritas sikap pemilih saat ini .
Mengingat pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 sudah di ambang pintu, penting membangun kesadaran kolektif masyarakat pemilih agar kebal dari rayuan jual-beli suara. Ini ujian berat terhadap kualitas demokrasi kita.
Berkaca pada pemilihan umum (pemilu) 14 Februari 2024, politik uang sudah menjadi wabah, tersebar di seluruh daerah. Selain aktor politisi, warga pemilih cenderung ‘mengamini’ atau bahkan ‘mendukung’ politik uang sebagai hal yang wajar dalam meraih kekuasaaan.
Di antara masyarakat pemilih, ada orang yang menantikan pemilu bukan sebagai momen memberi kedaulatan kekuasaan rakyat, melainkan bisa memanen uang yang banyak dari politisi yang berasal dari berbagai partai politik. Setiap pemilih bisa mendapatkan uang dari beberapa calon sekaligus.
Jumlah ‘money politik’ dari politikus bervariasi sesuai kemampuan modal masing-masing politikus, mulai dari angka Rp50.000 hingga ratusan ribu rupiah per suara atau hak pilih. Mayoritas politikus berlomba-lomba membagikan amplop “money politik” kepada warga, semakin banyak amplop terdistribusi, semakin besar peluang memenangkan kontestasi”
“Dilain pihak, warga melihat pemilu sebagai ajang “balas dendam” kepada politisi yang telah “merampok” hak-hak rakyat selama mereka menjabat, karena siapapun “oknum” politikus yang nentinya menduduki jabatan, secara mayoritas mereka akan melupakan rakyat, mementingkan kepentingan pribadi dan kekuasaan, memperkaya diri, menyalahgunakan jabatan dan sebagainya.
Tak heran, jika Politisi harus mengeluarkan uang banyak agar menggaet suara dan menang dalam kontestasi politik. Ini adalah arena persekongkolan politisi dengan pemodal atau pendonor yang memiliki kepentingan politik. Untuk momen pilkada, akan semakin besar pengeluaran calon yang nilainya kisaran 20-30 milyar untuk kelas kabupaten kecil atau jumlah pemilih kurang dari 1 juta.
Namun, masih ada politisi yang kritis dan menyesali praktik politik uang yang bergelimang di tengah masyarakat. Bagi politisi model ini, pendidikan politik menjadi indikator kunci untuk menentukan pilihan politik. Tetapi untuk saat ini, politik belum membutuhkan politisi yang kritis dan berpendidikan mumpuni akan tetapi miskin. Masyarakat sendiri tetap memilih politisi “busuk” bermodal dan yang berani “membayar” dengan nlai tertinggi.
Politik uang ini kita temukan dalam banyak laporan masyarakat, bahkan dilakukan secara terang-terangan. Terbentuknya Badan Pengawas Pemilihan Umum terkesan “mubazir” dan tidak dapat menghapus praktek politik uang politikus dalam mendapatkan suara pemilih.
Masih segar dalam ingatan kita, jelang pemilihan umum pada 14 Februari 2024, pemberitaan di media sosial sangat ramai adanya praktik politik uang, tetapi tidak ada tindakan tegas dari pihak yang berwenang. Sehingga terkesan politik uang adalah suatu kejadian yang wajar dan tidak melanggar hukum.
Politikus menawarkan sejumlah uang sebagai alat tukar atas pilihan politik di masyarakat, dengan sasaran pemilih : warga dengan tingkat ekonomi menengah kebawah, tingkat pendidikan yang minim dan kedekatan secara politis maupun ideologis antara warga pemilih dengan politisi.
Dapat dibayangkan, akibat politik uang, hasil Pemilu/Pilkada 2024 yang pada awalnya bertujuan dan mengharapkan politikus serta partai-partai politik sebagai organ yang mampu membangun pemerintahan, tetapi harapan itu akan sangat sirna, karena setelah menduduki jabatan dan kekuasaan, mayoritas mereka malah menjadi “benalu” anggaran.”
Sumber : AWIBB Jatim