Tutup
Sekapur Sirih

Hakikat Puasa Ramadhan yang Penting Diketahui Umat Islam

3124
×

Hakikat Puasa Ramadhan yang Penting Diketahui Umat Islam

Sebarkan artikel ini
Hakikat Puasa Ramadhan yang Penting Diketahui Umat Islam

Kabarnusa24.com | JAKARTA – Umat Islam diwajibkan untuk menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Pemerintah sendiri telah menetapkan puasa Ramadhan 1446 H jatuh pada Sabtu 1 Maret 2025 M.

Lantas, apa hakikatnya dalam berpuasa Ramadhan? Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Abdul Muiz Ali menerangkan terkait hakikat ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Menurut ulama yang akrab disapa Kiai AMA ini, hakikat pengertian puasa tidak saja mampu menahan diri dari makan, minum atau berhubungan intim (suami-istri) di siang hari saat Ramadhan (jimak).

Lebih dari itu, lanjutnya, pengertian puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan dan ucapan yang diharamkan.

“Pada arti ini, penting bagi orang saat sedang berpuasa, untuk tidak saja mampu menahan haus dan lapar, tapi juga mampu menahan mulut, mata, telinga, tangan, dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan yang dapat mengurangi atau menghilangkan pahala puasa,” kata Kiai AMA, Selasa (4/2/2025).

Kiai AMA mengungkapkan, dalam sebuah Hadist, disebutkan banyak orang yang berpuasa, namun, hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga.

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR ath-Thabarani)

“Hadits di atas sebagai warning agar puasa kita tidak sia-sia tidak berpahala,” tegasnya. Hal ini sebagaimana dikuatkan dalam hadits lainnya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ، الصِّييَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum saja, puasa adalah menahan diri dari perkataan sia-sia dan keji.’ (HR Baihaqi dan Al-Hakim).

Hindari ghibah

Kiai AMA menambahkan, hal ini termasuk seperti menahan diri dari perkataan yang sia-sia (ghiba), yakni membicarakan kejelekan, kesalahan atau kekurangan orang lain.

“Baik secara langsung atau melalui sosial media. Membicarakan, menulis atau merasa nyaman mendengarkan kejelekan, kesalahan dan kekuarangan orang lain disebut, semuanya sama termasuk ghibah, dan perbuatan ghibah termasuk penyebab puasanya sia-sia atau tidak berpahala,” ungkapnya.

Dalam salah satu riwayat hadits disebutkan sebagai berikut:

خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ الْغِيبَةُ وَالنَّمِيمَةُ وَالْكَذِبُ وَالْقُبْلَةُ وَالْيَمِينُ الْفَاجِرَةُ

“Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa, yaitu ghibah, mengadu domba, berdusta, ciuman, dan sumpah palsu.”

Terhadap hadits riwayat di atas Imam Nawawi menjelaskan:

وَأَجَابَ أَصْحَابُنَا عَنْ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ سِوَى الْأَخِيرِ بِأَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ كَمَالَ الصَّوْمِ وَففَضِيلَتَهُ الْمَطْلُوبَةَ إنَّمَا يَكُونُ بصيانته عن اللغو والكلام الردئ لَا أَنَّ الصَّوْمَ يَبْطُلُ بِهِ. وَأَمَّا الْحَدِيثُ الْأَخِيرُ (خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ) فَحَدِيثٌ بَاطِلٌ لَا يُحْتَجُّ بِهِ. وَأَجَابَ عَنْهُ الْمَااوَرْدِيُّ وَالْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُمَا بِأَنَّ الْمُرَادَ بُطْلَانُ الثَّوَابِ لَا نَفْسَ الصَّوْمِ.

“Sahabat kami (ulama kalangan Syafiiyyah) menjawab hadits-hadits tersebut, selain hadits kelima, bahwa yang dimaksud sesungguhnya kesempurnaan puasa dan keutamaan yang dituntut dapat diperoleh dengan menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, dan perkataan yang buruk, bukan bahwa puasa batal dengannya. Adapun hadits terakhir, (Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa) haditsnya batil tidak dapat dijadikan hujjah. Imam Mawardi, Al-Mutawalli, dan yang lainnya telah menjawab bahwa yang dimaksud batal adalah batal pahalanya, buka puasanya.”
(Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhadzzab, juz VI halaman 356).

Dalam keterangan kitab lain disebutkan:

معنى المفطر، كقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «من قال لأخيه والإمام يخطب: أنصت.. فلا جمعة له» . ولم يرد: أن صلاته تبطل، وإنما أراد: أن ثوابه يسقط، حتى يصير في معنى من لم يصل

“Adapun hadits tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa, sebagaimana contoh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya sedangkan imam berkhutbah, “ Diamlah“, maka tidak ada Jumat baginya,“ hadits ini tidak bermaksud sholatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala Jumatnya gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak shalat.“ (Al-Bayan fi Madzhabi syafi’i, juz 3, halaman 536).

“Untuk kesempurnaan ibadah puasa Ramadhan kita, maka selama berpuasa hindari bacaan, postingan berita, gambar, video dan lainnya yang mengarah pada ghibah, fitnah, adu domba dan perbuatan apapun yang diharamkan,” kata dia.

[MUI]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *