Tutup
Sekapur SirihReligi

Sejarah dan Asal Muasal Shalawat kepada Nabi SAW

3
×

Sejarah dan Asal Muasal Shalawat kepada Nabi SAW

Sebarkan artikel ini
Sejarah dan Asal Muasal Shalawat kepada Nabi SAW
Foto Jama'ah majlis membaca solawat

Sejarah dan Asal Muasal Shalawat kepda Nabi SAW

Kabarnusa24.com, Membaca shalawat kepada Nabi SAW,

اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ   سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ﷺ

“Allahumma shallii a’laa sayyidinaa Muhammadin wa a’laa aalihi sayyidina Muhammadin SAW.”

adalah salah satu amalan dan penghargaan kita kepada Rasulullah SAW. Sebagai umat Rasul SAW tentu kita tak asing lagi dengan amalan membaca shalawat, bahkan di masa sekarang membaca shalawat tidak hanya amalan yang bernilai pahala, tapi juga sudah mulai menjadi budaya dan perlombaan.

Bagaimana sejarah dan asal muasal shalawat. Mengapa shalawat bisa menjadi seterkenal dan membudaya seperti sekarang?

Membahas sejarah shalawat tentu tidak bisa terlepas dari Surat Al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Sebab turunnya ayat ini bisa dibilang menjadi sejarah shalawat kepada Rasul SAW. Sebab, At-Thabari menyebutkan bahwa setelah ayat ini turun, ada seorang sahabat yang bertanya terkait bunyi shalawat kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasul SAW menyebutkan shalawat Ibrahimiyah, sebagaimana yang biasa kita baca pada tasyahud akhir saat shalat.

Ayat tersebut oleh At-Thabari memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mendoakan Rasul SAW dan keselamatannya, (Lihat Ibnu Jarir At-Thabari, Jamiʽul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, [Beirut, Muassasatur Risalah: 2000], juz XX, halaman 320).

Terkait kapan shalawat itu diwajibkan kepada Rasul SAW, merujuk pada turunnya ayat tersebut kepada Rasul SAW, perintah shalawat tersebut diturunkan pada bulan Sya’ban pada tahun kedua Hijriyah.

Oleh Abu Dzar Al-Harawi, inilah yang disebut bulan Sya’ban sebagai bulan shalawat, (Lihat Muhammad ibn ʽAbdur Rahman As-Sakhawi, Al-Qaulul Badiʽ fis Ṣhalah ʽalal Ḥabibis Syafiʽ, [Madinah, Muassasatur Rayyan: 2002 M], halaman 92).

Secara lebih lanjut As-Suyuti menjelaskan bahwa shalawat sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi Musa AS dan kaumnya, Bani Isra’il. Saat itu Bani Isra’il bertanya kepada Nabi Musa AS, terkait apakah Allah SWT bershalawat kepada makhluk-Nya.

Mendengar pertanyaan dari kaumnya tersebut, Nabi Musa AS kemudian berdoa dan meminta jawaban kepada Allah SWT. Allah SWT pun menjawab pertanyaan Nabi Musa AS. Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa AS.

يَا ُموسَى إِنْ سَأَلُوْكَ هَلْ يُصَلِّي رَبُّكَ؟ فَقُلْ : نَعَمْ . أَنَا أُصَلِّي وَمَلَائِكَتِي عَلَى أَنْبِيَائِي وَرُسُلِي

Artinya, “Wahai Musa AS, sungguh kaum Bani Israil bertanya kepadamu, apakah Tuhanmu bershalawat kepada makhluk-Nya? Jawablah, ‘Iya. Aku dan juga para malaikatku bershalawat kepada para nabi dan rasul-Ku,’” (Lihat Jalaludin As-Suyuthi, Ad-Durarul Mantsur, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 197).

Kemudian turunlah Surat Al-Ahzab di atas. As-Suyuti menambahkan bahwa setelah turun ayat tersebut, kaum Bani Israil tersebut kemudian bahagia dan memujinya.

Dari hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa anjuran bershalawat turun untuk menghargai dan memuji utusan Rasul SAW atas tanggungannya berdakwah kepada para kaumnya.

Shalawat itu awalnya sebagai kabar baik kepada kaum Bani Israil, namun Allah SWT juga memberikan keutamaan kepada para nabi melalui shalawat kepadanya terlebih dahulu karena semuanya disampaikan melalaui perantaranya.

Ini juga bisa termasuk sebagai penghargaan kepada Nabi dan Rasul tersebut. Dalam hal ini Ubay ibn Ka’ab menyebutkan bahwa tidak ada hal baik yang diturunkan kepada seorang Rasul kecuali Rasul tersebut menjadi bagian dari hal baik tersebut. Turunlah Surat At-Taubah ayat 112.

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya, “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Gembirakanlah orang-orang mukmin itu,” (Lihat Jalaludin As-Suyuthi, Ad-Durarul Mantsur, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 197).

Oleh karena itu pada masa Rasulullah SAW, shalawat ini juga bisa menjadi sebuah penghargaan kepada Rasul SAW. Itulah mengapa ketika nama Rasul SAW disebut, Rasul SAW menganjurkan kita untuk membaca shalawat kepadanya, bahkan dengan memberikan janji keutamaan-keutamaan yang banyak.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Al-Ghazali dan beberapa ulama lain yang dikutip oleh As-Sakhawi yang menyebutkan bahwasanya shalawat kepada Nabi SAW tidak terbatas sebagai doa, tapi juga sebagai pujian dan sebagai ibadah.

Hs-Wa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *