KABARNUSA24.COM,- Di Indonesia, penyandang disabilitas seringkali menghadapi tantangan besar dalam mengakses pendidikan yang setara. Dengan jumlah penduduk disabilitas mencapai 43 juta jiwa pada tahun 2022, upaya untuk menciptakan lingkungan pendidikan inklusif menjadi sangat penting. Komitmen pemerintah untuk mendukung hak-hak penyandang disabilitas telah ditegaskan melalui regulasi seperti UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan PP Nomor 13 Tahun 2020 tentang Fasilitasi Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Langkah konkret ini dipertegas dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2024, yang mewajibkan semua lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama untuk menyediakan akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas.
Namun, implementasi di lapangan tidak lah mudah. Madrasah sebagai lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama juga menghadapi tantangan besar dalam menyediakan pendidikan inklusif. Dari total 10.489.696 peserta didik di madrasah pada tahun 2022, tercatat 48.423 di antaranya adalah peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Tantangan ini tidak menyurutkan semangat Supriyono, seorang pegiat pendidikan inklusif yang telah berperan besar dalam mengembangkan model pendidikan inklusif di madrasah-madrasah Indonesia. Kisah inspiratif ini dibagi Supriyono pada Selasa (3/9/2024).
Kisah Perjuangan
Supriyono memulai karirnya sebagai guru di MI Keji Ungaran Barat, Semarang, pada tahun 2005. Sejak diangkat menjadi Kepala Madrasah pada tahun 2011, ia memiliki visi untuk menjadikan MI Keji sebagai madrasah inklusif yang ramah bagi semua peserta didik, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Dengan sumber daya yang terbatas, Supriyono berusaha keras mengembangkan model pendidikan inklusif yang memungkinkan semua anak mendapatkan hak yang sama untuk belajar tanpa diskriminasi.
Pada tahun 2015, MI Keji menerima bantuan dari Kementerian Agama berupa pembangunan Ruang Sumber yang dilengkapi dengan sarana prasarana pendukung pendidikan inklusif. Dukungan ini menjadi titik balik bagi MI Keji untuk lebih percaya diri dalam mengembangkan program inklusif. Supriyono juga aktif berkolaborasi dengan berbagai organisasi, seperti LP. Ma’arif NU dan UNICEF, serta berpartisipasi dalam program kemitraan pendidikan Australia-Indonesia (AUSAID) yang semakin memperkokoh pondasi madrasah inklusif ini.
Pengakuan dan Penghargaan
Usaha keras Supriyono dalam mengembangkan pendidikan inklusif di MI Keji tidak hanya membuahkan hasil dalam bentuk peningkatan jumlah siswa, tetapi juga membawa berbagai penghargaan. Pada tahun 2017, ia dinobatkan sebagai Juara I Kepala MI Berprestasi Tingkat Nasional oleh Kementerian Agama. Prestasi ini kemudian membawanya untuk mengikuti shortcourse di Seoul National University, Korea Selatan, pada tahun 2019, di mana ia memperdalam praktik pendidikan inklusif.
Selain penghargaan pribadi, MI Keji juga diakui sebagai salah satu model madrasah inklusif di Indonesia. Keberhasilan ini diikuti dengan peningkatan prestasi madrasah di berbagai tingkat, baik nasional maupun internasional. MI Keji menjadi pusat penelitian bagi mahasiswa, dosen, dan profesional yang tertarik dengan model pendidikan inklusif. Hal ini semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap madrasah, terbukti dari peningkatan jumlah siswa dari 58 orang pada tahun 2009 menjadi 205 orang pada tahun 2021, termasuk 26 PDBK dengan berbagai hambatan seperti Celebral Palsy, tuna grahita, autis, dan ADHD.
Pengembangan Pendidikan Inklusif di MIN 5 Semarang
Pada tahun 2021, Supriyono dipindah tugaskan ke MIN 5 Semarang, di mana ia kembali membawa semangat inklusif yang sama. Dengan dukungan dari Forum Pendidik Madrasah Inklusif (FPMI) yang dipimpinnya, Supriyono berupaya meningkatkan kompetensi guru melalui pelatihan dan studi banding ke madrasah-madrasah inklusif lainnya. Langkah-langkah strategis ini berhasil mengembangkan pendidikan inklusif di MIN 5 Semarang, meskipun dengan jumlah PDBK yang lebih sedikit dibandingkan dengan MI Keji.
Peran dan Kontribusi Nasional
Sebagai Ketua FPMI Pusat dan anggota Tim Ahli Pokja Pendidikan Islam Inklusif Ditjen Pendis Kemenag RI, Supriyono berperan besar dalam pengembangan regulasi dan kebijakan yang mendukung pendidikan inklusif di Indonesia. Salah satu kontribusi besarnya adalah dalam penyusunan Roadmap Pengembangan Pendidikan Inklusif di Madrasah dan Pondok Pesantren, serta modul pelatihan bagi pendidik inklusif.
Di bawah kepemimpinannya, FPMI telah berkembang pesat, dengan terbentuknya cabang-cabang FPMI di 17 provinsi dan lebih dari 1.000 madrasah inklusif di seluruh Indonesia. Madrasah-madrasah ini menyediakan ruang belajar yang ramah bagi lebih dari 3.798 PDBK, didukung oleh 9.055 guru inklusif dan 764 Guru Pembimbing Khusus.
Kisah Supriyono adalah bukti nyata bahwa dengan komitmen, kerja keras, dan kerjasama, pendidikan inklusif yang setara dan tanpa diskriminasi dapat diwujudkan di madrasah-madrasah Indonesia. Melalui inovasi dan kepemimpinan yang inspiratif, Supriyono tidak hanya mengubah wajah madrasah-madrasah tempat ia bertugas, tetapi juga memberikan dampak positif bagi ribuan peserta didik berkebutuhan khusus di seluruh Indonesia. Dengan terus mengetuk pintu langit, Supriyono telah menyemai taman surga bagi mereka yang sebelumnya mungkin tidak memiliki harapan.
Sumber: Kemenag RI