Oleh: Ustadz Alhafiz Kurniawan
Kabarnusa24.com – Tarekat secara harfiah berarti “jalan.” Dalam istilah tasawuf, sebagaimana tercantum di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tarekat berarti jalan menuju kebenaran. Bentuk tidak baku dari kata “tarekat” dalam KBBI mencakup tarikat, tariqat, thariqat, dan thoriqot.
KBBI juga mendefinisikan tarekat secara istilah sebagai cara atau aturan hidup dalam konteks keagamaan atau ilmu kebatinan. Tarekat juga diartikan sebagai persekutuan para penuntut ilmu tasawuf. Demikianlah sejumlah keterangan yang diperoleh dari KBBI.
Sebagai sebuah aturan hidup dan juga persekutuan atau komunitas sekaligus, tarekat memiliki cara hidup dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Dalam khazanah Islam, kita mengenal mursyid sebagai guru tarekat dan murid sebagai pengikut ajaran tarekat tersebut.
Sebuah tarekat memiliki mata rantai keguruan atau sanad yang tersambung hingga kepada Rasulullah saw. Dengan demikian, tarekat memperoleh legitimasi syar’i yang diakui secara syariat.
Kalau diumpamakan sebagai sebuah bangunan, tarekat memiliki fondasi dan pilar atau tiang. Dengan fondasi dan tiang tersebut, tarekat memiliki pijakan dan penyangga elemen bangunan tersebut.
Imam Asy-Sya’rani, pengikut tarekat Syadziliyah, menyebutkan tiang tarekat setidaknya dalam dua bukunya, yaitu Al-Minah as-Saniyyah dan Al-Anwarul Qudsiyyah fi Bayani Qawa’idish Shufiyyah yang kami kutip salah satunya (Beirut, Dar Shadir 2010: hlm. 83).
وأركان الطريق أربعة أشياء الجوع والعزلة والسهر وقلة الكلام
Artinya, “Pilar-pilar tarekat terdiri atas empat hal: lapar, uzlah, terjaga, dan sedikit bicara.”
Pengurangan porsi dan intensitas konsumsi, pengurangan perjumpaan dengan orang lain, pengurangan waktu tidur, dan pengurangan bicara sebagai upaya pengendalian diri merupakan pilar dari bangunan tarekat dalam Islam. Tanpa empat pilar ini, bangunan tarekat akan rapuh.
Fondasi utama tarekat adalah sikap zuhud, yang dalam KBBI diartikan sebagai meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi atau hidup seperti pertapa. Sikap zuhud ini menjadi landasan utama bagi keseluruhan elemen bangunan tarekat, di mana mursyid dan murid menjalani kehidupan asketis—jujur, sederhana, dan rela berkorban.
Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i ra mengatakan, “Batu landasan yang harus diletakkan oleh seorang murid sejati dalam menjalani laku tarekat adalah sikap zuhud terhadap dunia. Barang siapa yang tidak zuhud terhadap dunia, niscaya bangunan setelahnya tidak akan berdiri.” (Asy-Sya’rani, 2010 M: 183).
Murid yang menjalani laku suluk mengisi perjalanan spiritualnya dengan wirid atau awrad (ibadah tertentu yang dilakukan secara intensif dan berkelanjutan). Laksana di dalam ruangan, wirid atau awrad adalah lampu penerang bagi ruang batin murid. Setiap tarekat memiliki wirid atau ibadah yang berbeda satu sama lain, bisa shalat, puasa, zikir, sedekah, dan jenis ibadah lainnya.
Keterangan di atas disebutkan oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha dalam Kifayatul Atqiya (Indonesia, Al-Haramain Jaya, t.t: 47-48):
قد علم مما تقرر أنه لا بد للمريد من ذكر وورد يواظب عليه لأن الذكر يكون كالمصباح في يده يستضيئ به وتحصل الواردات في قلبه بقدر ذكره وورده
Artinya, “Sebagian ketetapan yang telah diketahui bahwa seorang murid tidak boleh tidak harus melakukan zikir dan wirid yang senantiasa dilaksanakan karena zikir itu laksana lentera di tangan yang dipakai untuk menerangi. Tingkat kejernihan di hati seseorang bergantung seberapa besar zikir dan wirid.”
Adapun zikir menempati kedudukan yang cukup penting sebagai wirid di kalangan komunitas tarekat. “Guru-guru menempuh suluk yang berbeda-beda sebagai wasilah kepada Allah. Setiap komunitas tarekat memilih dan menempuh suluk yang berbeda-beda yang menjadi penyambung mereka kepada Allah. Sebagian tarekat menempuh suluk dengan mengajarkan ibadah dan kebaikan kepada masyarakat. Sebagian lagi memperbanyak wirid, yaitu ibadah shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, atau tasbih. Ada juga komunitas tarekat yang berkhidmah pada ulama fiqih, ulama tasawuf, dan guru-guru agama. Sedangkan sebagian komunitas tarekat yang memilih suluknya dengan mencari kayu bakar dan menjualnya di pasar agar dapat bersedekah dari usahanya,” (hlm. 13).
Wirid seorang murid yang paling utama ialah zikir karena ibadah lain-seperti shalat meski ibadah yang agung-tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang mana zikir boleh dilakukan, berbeda dengan zikir menyebut asma Allah yang tidak dilarang kapan pun, (Asy-Sya’rani, 2010 M: 219).
Selain wirid, adab menempati kedudukan yang cukup penting dalam komunitas tarekat. Bahkan, adab di kalangan komunitas tarekat menempati kedudukan yang jauh lebih berarti daripada ilmu itu sendiri. Adab merupakan norma yang harus dipatuhi seorang murid terhadap anggota komunitas tarekat itu sendiri, terhadap publik, terhadap guru/mursyid, dan juga terhadap Allah.
Syekh Abu Zakaria mengutip sejumlah pengertian adab dalam catatan kaki kitab Risalatul Qusyairiyyah (Kairo, Darus-Salam, 2010: 154). Adab merupakan sikap yang lahir dari kesucian batin dan kesadaran diri. Adab dapat bermakna penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Adab juga dapat berarti interaksi yang baik. Sebagian lagi orang mengartikan adab sebagai interaksi terhadap makhluk dengan kejujuran dan pandangan hakikat.
Terkait adab terhadap guru, seorang murid tidak boleh sama sekali bertanya kepada gurunya, “Mengapa demikian?” Guru tarekat bersepakat bahwa murid yang bertanya “Mengapa?” kepada gurunya sama tidak akan beruntung dalam perjalanan tarekatnya. (As-Sya’rani, 2010 M: 269).
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengemukakan, bahwa terkadang yang membuat seorang murid tertahan untuk naik maqam ialah karena pertanyaannya kepada sang guru “mengapa?” karena pertanyaan ini bagi kalangan tarekat merupakan sebuah dosa yang tidak disadari oleh kalangan di luar mereka. Tarekat itu sepenuhnya berisi adab dan pengajaran adab. Murid yang menjaga adab terhadap gurunya dipastikan dapat menjaga adab terhadap Allah.
Seorang guru tidak akan mencapai kesempurnaan dalam maqam mendidik hingga ia benar-benar memastikan bahwa ia telah membimbing muridnya dalam adab, baik terhadap dirinya maupun terhadap Allah, sebagaimana seseorang menasihati sahabatnya. Sebab, guru adalah pintu menuju hadirat Allah. Mereka mengajarkan adab kepada setiap orang yang ingin memasuki hadirat Allah. Tidak ada seseorang yang menjauhkan diri dari bimbingan dan koreksi guru kecuali orang yang telah disesatkan oleh Allah. (hlm. 269).
Syekh Abdul Qadir ra berkata, “Jangan kalian (para murid) duduk dengan guru kecuali dengan adab. Tiada murid yang bersikap su’ul adab terhadap guru kecuali akan mendapatkan laknat dan namanya terhapus dari catatan para murid.” (hlm. 269).
Adapun elemen penting lainnya dalam komunitas tarekat adalah irsyadat atau bimbingan yang dilakukan oleh mursyid atau guru tarekat terhadap anggota komunitas tarekat.
Irsyadat ini menjadi penting terutama bagi pertumbuhan spiritual dan perjalanan suluk muridnya mulai dari yang tobat, pelaksanaan syariat, dan pembersihan diri murid dari semua dosa lahir dan batin.
Demikian keterangan singkat perihal komunitas tarekat dalam Islam. Dengan fondasi, pilar, adab, dan bimbingan yang kokoh, tarekat menjadi jalan yang sah secara syariat untuk mencapai kesempurnaan spiritual. Wallahu a’lam.
Sumber: NU Online