Motivasi Menuntut Ilmu dalam Al-Quran
KABARNUSA24.COM, Syaikh Zaidan dalam Ushul ad-Da’wah menyebutkan bahwa ilmu merupakan kunci kesuksesan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk itulah, ilmu memiliki kedudukan mulia dalam Islam, di mana Islam menyeru kepadanya dan menguatkan urgensi akan hal tersebut.
Terkait urgensi ilmu ini, Imam as-Syafii berkata,
طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ النَّافِلَةِ
“Menuntut ilmu lebih utama dari shalat sunah.”
لَيْسَ بَعْدَ الْفَرَائِضِ أَفْضَلُ مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ
“Tidak ada amalan setelah amalan fardhu atau amalan wajib, yang lebih utama dari menuntut ilmu.”
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ.
“Barang siapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia hendaklah ia berilmu dan barang siapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat hendaklah ia berilmu.”
Kisah Motivasi Menuntut Ilmu dalam Al-Quran :
Dalam al-Quran al-Karim ada beberapa kisah tentang pentingnya menuntut ilmu.
Pertama: Perjalanan Nabi Musa Menuntut Ilmu
Kisah perjalanan Nabi Musa alaihissalam ini bermula dari pertanyaan yang dilontarkan salah seorang bani Israil kepada beliau. Pertanyaan tersebut berbunyi, “Siapakah orang yang paling berilmu.”
Menjawab pertanyaan tersebut, Nabi Musa berkata, “Aku.”
Mendengar jawaban Musa, Allah pun langsung menegurnya karena tidak menisbatkan ilmu kepada-Nya. Allah juga memberitahukan bahwa ada orang yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Musa.
Mendengar ada orang yang lebih berilmu darinya, Nabi Musa bergegas membawa perbekalan dan mengambil seorang pemuda bernama Yusya’ bin Nun untuk membersamai perjalanan menuntut ilmu.
Kisah perjalanan ini Allah abadikan dalam Surat al-Kahfi ayat 60 hingga 82.
Selayaknya suatu perjalanan, Nabi Musa pun mengalami kesulitan dalam perjalanan tersebut, sehingga Yusya’ bin Nun mengingatkannya untuk beristirahat. Namun Nabi Musa menolak tawaran tersebut, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat al-Kahfi ayat 60,
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya,‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”
Dari sinilah, kisah perjalanan Nabi Musa untuk menuntut ilmu menegaskan fakta penting, bahwa Nabi Musa ialah potret penuntut ilmu yang bersungguh-sungguh. Dan kisah tersebut menunjukkan tentang urgensi serta keutamaan ilmu itu sendiri.
Syaikh as-Sa’di dalam Taisir al-Karîm ar-Rahmân fi Tafsir Kalam al-Manan menyebutkan tiga hikmah terkait kisah di atas,
Pertama, Musa adalah seorang nabi dan juga seorang rasul, bahkan termasuk dari rasul ulul azmi. Namun, hal itu tidak mengurangi semangatnya untuk berburu ilmu baru.
Kedua, Nabi Musa ‘alaihissalam telah menempuh perjalanan dengan jarak yang jauh dan mengalami keletihan dalam mencarinya.
Ketiga, Beliau juga memiliki umat yang harus dibimbing dan ditunjukkan ke jalan yang lurus.
Sekalipun demikian, beliau tetap meninggalkan pengajaran terhadap umatnya demi mendapat tambahan ilmu.
Kedua: Islamnya Tukang Sihir Firaun
Kisah berikutnya adalah kisah keislaman tukang sihir Firaun.
Sebagaimana termaktub dalam Surat Thaha ayat 65 hingga 76, yang mengisahkan pertarungan sihir mereka melawan mukjizat Nabi Musa ‘alaihissalam hingga akhirnya mereka bersujud dan mengikrarkan keislamannya seketika itu juga.
Keimanan mereka membuat Firaun murka dan mengancam akan memotong tangan dan kaki mereka secara tersilang dan menyalib mereka di pelepah kurma.
Tapi, ancaman itu dijawab para ahli sihir dengan tenang dan yakin, sebagaimana firman Allah, al-Quran Surat Thaha ayat 72,
قَالُوا لَنْ نُؤْثِرَكَ عَلَى مَا جَاءَنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي فَطَرَنَا فَاقْضِ مَا أَنْتَ قَاضٍ إِنَّمَا تَقْضِي هَذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
“Mereka (para penyihir) berkata,‘Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu atas bukti-bukti nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan atas (Allah) yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah yang hendak engkau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini.’”
Dari sini, terlihat jelas perbedaan sikap tukang sihir tersebut, yang awalnya menjadi pembantu-pembatu Firaun namun sekarang menentangnya. Lantas apa yang menyebabkan keteguhan mereka tersebut? Jawaban tentang pertanyaan ini adalah ilmu.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ahli tafsir, salah satunya adalah Imam al-Nasafi. Imam an-Nasafi berkata dalam Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, 2/375,
وَضَرَّ فِرْعَوْنُ جَهْلَهُ بِهِ وَنَفَعَهُمْ عِلْمُهُمْ بِالسِّحْرِ فَكَيْفَ بِعِلْمِ الشَّرْعِ.
“Kejahilan Firaun tentang sihir membahayakannya (sehingga ia tetap berada dalam kekafiran), sedang pengetahuan para tukang sihir tentang sihir bermanfaat bagi mereka. Jadi, bagaimana dengan ilmu syar’i?”
Dari pernyataan di atas, yang menjadi sebab Firaun tetap kafir dan tidak tunduk kepada kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa ialah karena ia tidak tahu-menahu tentang ilmu sihir.
Sementara tukang sihir, mereka tahu dan sadar bahwa tongkat Nabi Musa yang menjadi ular besar lalu memakan “ular-ular kecil” mereka bukanlah sihir, tetapi mukjizat. Maka seketika itu pula mereka beriman kepada Rabbnya Musa dan Harun. Yakni, ilmu sihir merekalah yang menghantarkan mereka kepada hidayah.
Imam an-Nasafi pun memberikan penjelasan lebih menarik dalam pernyataan tersebut, yaitu ungkapan beliau, “Jadi, bagaimana dengan ilmu syar’i?”
Maksudnya, jika ilmu sihir yang dilarang saja bisa menghantarkan pemiliknya kepada jalan keimanan, lantas bagaimana dengan ilmu syar’i? Tentu ilmu syar’i ini akan membimbing pemiliknya kepada keimanan yang lebih berkualitas.
Ketiga: Kisah Burung Hudhud
Kisah burung ini disebutkan Allah dalam Surat al-Naml ayat 20 sampai 28.
Termaktub pada ayat-ayat tersebut bahwa kisah burung Hudhud ini berawal dari inspeksi yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam terhadap pasukannya. Namun, ketika pengecekan sekawanan burung, Nabi Sulaiman tidak melihat Hudhud.
Lantas Nabi Sulaiman bertanya, al-Quran Surat an-Naml ayat 20, “Mengapa aku tidak melihat Hudhud, ataukah ia termasuk yang tidak hadir?”
Setelah bertanya dan memastikan bahwa Hudhud tidak ada, Nabi Sulaiman pun bersumpah, al-Quran Surat an-Naml ayat 20,
لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُّبِينٍ
“Sungguh aku benar-benar akan menyiksanya dengan siksaan yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang.”
Dari pernyataan Nabi Sulaiman di atas, terlihat jelas bagaimana kemarahan dan kemurkaan Nabi Sulaiman kepada Hudhud. Karena ketiadaan Hudhud ini merusak kedisiplinan. Jika dibiarkan akan berakibat pada pelanggaran-pelanggaran yang lain.
Untuk itu, Nabi Sulaiman mengancamnya dengan ancaman yang amat pedih, kecuali jika ia datang dengan membawa alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Singkat cerita, burung Hudhud pun selamat dari ancaman siksaan yang akan diberikan.
Lantas apa yang menjadi sebab burung Hudhud terbebas dari hukuman? Jawabnya jelas, yaitu karena ilmu.
Hal ini ditegaskan oleh perkataan Imam Ibnu Qayyim, dalam Miftâh Dâr as-Sa’âdah jilid 1 halaman 173,
“Sungguh Nabi Sulaiman telah mengancam burung Hudhud dengan siksaan yang amat berat atau menyembelihnya. Namun burung Hudhud selamat karena ilmu. Kata pengantar yang disebutkan Hudhud,‘Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu tahu’ ini hanya bisa diucapkan karena ilmu. Jika tidak ada kekuatan ilmu, maka Hudhud yang lemah tidak akan kuasa mengatakan kata-kata seperti ini kepada Nabi Sulaiman.”
Keempat: Kisah Pemindahan Singgasana Ratu Saba’
Kisah ini termaktub pada ayat berikutnya, tepatnya pada Surat Saba’ ayat 29 hingga 44.
Setelah mendapatkan laporan dari burung Hudhud tentang keberadaan negeri Saba’ berserta kondisi duniawi dan keagamaan mereka, Nabi Sulaiman langsung merespons cepat berita yang dibawa oleh Hudhud. Nabi Sulaiman pun mengirim Hudhud ke negeri Saba’ dengan membawa surat yang ditulisnya.
Tak lama kemudian, Nabi Sulaiman mengadakan sayembara siapakah yang bisa memindahkan singgasana Ratu Saba’ ke hadapannya. Mendengar permintaan tersebut, ada dua orang yang menawarkan kebolehannya. Yang pertama adalah Ifrit dari kalangan jin, dan yang kedua adalah orang yang memiliki ilmu dari al-Kitab.
Ifrit dari kalangan jin menjelaskan bahwa ia dapat melaksanakan perintah Nabi Sulaiman sebelum ia berdiri dari tempat duduknya. Sedangkan orang yang memiliki ilmu dari al-Kitab, ia dapat memindahkan singgasana Ratu Saba’ sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya. Dengan demikian, orang yang memiliki ilmu dari al-Kitab inilah yang memenangkan sayembara tersebut.
Oleh karena itu, kisah ini menunjukkan akan urgensi dan keutamaan ilmu. Karena pemindahan yang dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu dari al-Kitab itu lebih cepat daripada yang dilakukan oleh si Ifrit.
Tentang hal ini ada pernyataan menarik yang disampaikan oleh Imam Ibnu Asyur. Beliau berkata dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, 19/271, “Kompetisi antara jin Ifrit dan orang yang memiliki ilmu dari al-Kitab mengindikasikan bahwa sesuatu menjadi mudah diselesaikan dengan hikmah dan ilmu yang tidak bisa dipecahkan dengan kekuatan.”
Ilmu merupakan warisan penting para nabi dan rasul, sehingga Ilmu itu sangat penting untuk dicari.
Kisah perjalanan Nabi Musa menuntut ilmu, kisah keislaman tukang sihir Firaun, kisah burung Hudhud, dan kisah pemindahan singgasana Ratu Saba’, adalah potret nyata betapa pentingnya menuntut ilmu yang Allah subhanahu wata’ala sampaikan langsung.
Demikian Kisah tentang pentingnya menuntut ilmu, Semoga Allah SWT senantiasa memberi kita semangat dan istiqamah dalam menuntut ilmu warisan para ulama.
Sumber : Ulasan materi dakwah khutbah.