Polemik PP No. 53 Tahun 2023: Menyoal Potensi Penyalahgunaan Fasilitas Negara untuk Kepentingan Elektoral Para Pejabat yang Terhormat

Polemik PP No. 53 Tahun 2023: Menyoal Potensi Penyalahgunaan Fasilitas Negara untuk Kepentingan Elektoral Para Pejabat yang Terhormat

 

Aceh – kabarnusa24.com.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68 pada Pasal 170 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 membolehkan menteri dan pejabat setingkat menteri untuk tidak mundur dari jabatannya ketika mencalonkan diri sebagai presiden maupun wakil presiden. Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan yang ditandatangani oleh presiden Joko Widodo terkait mekanisme persetujuan dan pengajuan cuti ketika kampanye. Hal itu tertuang pada Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2023 yang merupakan perubahan dari PP No. 32 Tahun 2018. Peraturan tersebut diketahui menimbulkan polemik tersendiri berkaitan dengan pemilu 2024. Tidak mundurnya menteri atau pejabat setingkat menteri dianggap akan merujuk pada kepentingan politik elektoral. Kebijakan itu bisa menguntungkan setiap calon yang masih menjabat karena ada peluang untuk melakukan mobilisasi masa melalui instrumen kekuasaan dan fasilitas negara yang ada dalam lingkup kerjanya. Hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan kaidah moral yang tepat karena ada potensi penyalahgunaan fungsi jabatan untuk kepentingan personal maupun partai demi meraup banyak suara.

 

Lahirnya PP No. 53 Tahun 2023 sebagai tindak lanjut dari putusan MK 68/PUU-XX/2022 membuat menteri dan pejabat setingkat menteri hanya perlu mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden selama masa kampanye. Dalam hal ini, menteri, gubernur, dan walikota/bupati diperkenankan untuk tidak mundur dari jabatannya ketika mencalonkan diri sebagai presiden maupun wakil presiden. Ketika masih memilih menjabat, urusan kampanye, elektabilitas, dan self branding dari kontestan akan berpotensi mengganggu fokus kerja mereka. Hal itu memungkinkan yang bersangkutan tidak lagi profesional dalam menjalankan fungsi jabatannya. Selain itu, tanpa kebijakan pengunduran diri bagi menteri dalam masa pencalonannya juga akan mengganggu soliditas kabinet. Jika dalam suatu kabinet dimasuki unsur kompetisi dan kontestasi pilpres, dikhawatirkan profesionalitas pejabat-pejabat di dalamnya mengendur dan beralih focus pada persaingan elektabilitas serta pengedepanan sentimentalitas.

 

 

 

Meskipun terdapat mekanisme pengajuan cuti untuk masa kampanye, akan tetapi mereka tetap terikat oleh jabatan tersebut. Dalam porsi tertentu, hal tersebut dapat menguntungkan para calon yang masih menjabat. Privilege sebagai pejabat publik dapat digunakan untuk melakukan mobilisasi suara pada struktur/birokrat di bawahnya. Selain itu, program-program kerja dapat dimanfaatkan sebagai lahan kampanye terselubung. Adanya potensi-potensi tersebut secara tidak langsung mengutarakan bahwa kebijakan baru ini rawan akan penyelewengan. Pejabat publik yang sekaligus bertindak sebagai capres maupun cawapres rawan kehilangan profesionalitas karena terdapat kepentingan elektoral yang lebih diutamakan. Ujar Arya Damanik

 

Selain itu dapat juga memunculkan Repsetentasi ketidakadilan pada kalangan bawah. PP No. 53 Tahun 2023 dinilai mengandung problematika tersendiri. Dalam proses implementasinya, dikhawatirkan muncul berbagai resiko yang berpotensi mencederai integritas dan netralitas lembaga negara. Selain itu, keputusan memberi kebebasan pada menteri atau pejabat setingkat menteri untuk tidak mundur dari jabatannya ketika berkontestasi dinilai tidak adil. Hal itu dikarenakan aturan ini secara operasional hanya menguntungkan pejabat yang memiliki banyak pengaruh, seperti menteri, gubernur, walikota, maupun bupati. Di samping itu, pejabat di bawahnya, seperti Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/Polri, dan karyawan serta pejabat BUMN tetap diwajibkan mundur dari jabatannya ketika mencalonkan diri sebagai presiden maupun wakil presiden. Seperti.hal nya yang dikatakan oleh Aktivis pro-demokrasi, Asfinawati, mengatakan bahwa aturan itu mengandung cara berpikir yang tidak adil untuk menguntungkan kalangan atas. Lebih lanjut, ia juga mengatakan, “Kalau aturan itu juga menguntungkan diri sendiri, jelas mengarah pada nepotisme.”

 

Adapun solusi yang dapat diberikan yaitu Kebijakan yang terbilang baru tersebut wajar jika memunculkan kekhawatiran di benak masyarakat. Penyalahgunaan kuasa, kampanye terselubung, dan penyalahgunaan fasilitas negara menjadi kebobrokan yang dapat dilakukan para pejabat yang tidak mundur selama masa pencalonan. Kebijakan baru ini juga pantas membuat publik mempertanyakan netralitas lembaga negara yang dipimpin oleh menteri yang bersangkutan dalam proses pemilu 2024. Dalam hal ini, hanya mewajibkan cuti bagi pejabat selama berkampanye dinilai belum efektif untuk menanggulangi resiko-resiko negatif tersebut. Oleh karena itu, Ferry Daud Liando, pengajar ilmu politik Universitas Sam Ratulangi, mengungkapkan bahwa ada dua alternatif yang dinilai efektif untuk menteri atau pejabat setingkat menteri yang turut berkontestasi, yakni mundur dari jabatannya atau nonaktif sementara.

Adanya resiko yang cenderung negatif harusnya juga memicu pengawasan yang lebih ketat. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai instrumen untuk memastikan pemilu berjalan jujur dan adil memiliki peran besar dalam pengawasan tersebut. Namun, cerdiknya politisi saat menyelubungkan kepentingan elektoral dalam pelaksanaan fungsi jabatan membuat perlunya partisipasi yang lebih besar dalam hal pengawasan. Untuk itu, tak hanya bawaslu yang diharap tegas. Lembaga pengawas internal kementerian, Badan Pemeriksa Keuangan, sampai Ombudsman Republik Indonesia perlu mengawasi juga kemungkinan penggunaan fasilitas negara dalam kampanye. Selain itu, masyarakat sipil, media massa, dan para elemen kritis wajib turut andil dalam mengawasi segala proses yang berkaitan dengan pemilu agar tetap berlangsung jujur dan adil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *