Belajar Sabar dan Syukur dari Nabi Jadikan Kesempurnaan Iman

Belajar Sabar dan Syukur dari Nabi Jadikan Kesempurnaan Iman
ilustrasi Sabar

Belajar Sabar dan Syukur dari Nabi Jadikan Kesempurnaan Iman

KABARNUSA24.COM,- Sabar dan syukur merupakan kesempurnaan iman dalam menjalani kehidupan di dunia. Demikian itu karena kehidupan dunia seseorang tidak akan pernah terlepas dari kesengsaraan dan kenikmatan.

Seseorang yang mendapat kesengsaraan baik tampak maupun tidak, maka pertama kali hendaknya ia menghadirkan sifat sabar. Kemudian setelah itu, hendaknya ia bersyukur kepada Allah atas banyaknya nikmat lain, baik terlihat ataupun tidak yang telah dikaruniakan kepadanya, karena nikmat Allah sangat banyak dan luas.

Sebaliknya, mereka yang mendapatkan kenikmatan baik terlihat ataupun tidak, tentunya rasa syukur harus pertama kali ia hadirkan. Kemudian setelah itu, hendaknya ia terus bersabar untuk tidak menggunakan kenikmatan tersebut guna bermaksiat kepada Rabb-nya.

Berkenaan dengan hal itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim hadits nomor 2999,

عَجَبًا لِأمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لأِحَدٍ إِلاَّ للْمُؤْمِن: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خيْراً لَهُ

“Sungguh perkara orang Mukmin itu mengagumkan, semua perihalnya baik dan hal itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mukmin. Bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan hal itu baik baginya. Jika tertimpa musibah, ia bersabar dan hal itu baik baginya.”

Dari hadis di atas terlihat betapa mengagungkannya perkara seorang mukmin, di mana ia mampu bersabar dan bersyukur dalam kondisi apapun.

Untuk itu, sabar dan syukur merupakan sifat yang mulia dan tidak bisa dipisahkan, ibarat mata uang yang saling melengkapi dan tidak terpisahkan.

Terkait sabar dan syukur ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyah pernah berkata, sebagaimana disebutkan dalam kitab beliau Madariju As-Salikin jilid 2 halaman 232,

“Rasa syukur adalah setengah keimanan. Sedangkan keimanan ini bisa dibelah menjadi dua potongan bagian besar: yang pertama ialah rasa syukur dan yang kedua adalah rasa sabar.”

Mari sejenak meneladani dua sosok hamba Allah yang shalih dalam perkara sabar dan syukur.

Belajar Sabar dari Nabi Ayyyub‘alaihissalam
Dalam masalah sabar ini terdapat teladan yang baik pada diri Nabi Ayyub‘alaihissalam. Nabi Ayyub‘alaihissalam menghadapi beratnya cobaan hidup, tubuh yang digerogoti penyakit, kemiskinan yang mengimpit dan keasingan karena dijauhi masyarakat yang tidak tahan berdekatan dengannya yang sarat dengan penyakit.

Meskipun demikian, Nabi Ayyub sangat bersabar dan tetap beryukur atas nikmatnya bermunajat kepada Allah dalam doanya. Tak ada keluhan yang terlontar selain mengeluh kepada Allah, tak ada buruk sangka yang terlintas di benaknya. Yang ada hanyalah kesabaran dan prasangka yang baik kepada Allah.

Amin bin Abdullah asy-Syaqawi menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul Qishshahtu Nabiyillah Ayyub,

“Pada mulanya Nabi Ayyub adalah seorang lelaki yang memiliki banyak harta, berupa tanah yang luas, hewan ternak dan kambing di belahan bumi yang bernama Batsniyah di daerah Houran yang terletak di negeri Syam. Semua lahan yang luas itu adalah miliknya, lalu Allah menguji dirinya dengan kehilangan semua harta tersebut.

Ia diuji dengan berbagai macam ujian yang menimpa tubuhnya, selain hati dan lisannya tidak ada sejengkal pun dari bagian tubuhnya kecuali tertimpa penyakit.

Ia selalu berdzikir dengan kedua indera yang masih sehat tersebut, bertasbih kepada Allah siang dan malam, pagi dan sore. Akibat penyakit yang dideritanya, seluruh temannya merasa jijik terhadapnya, sahabat karibnya menjauh darinya.

Bahkan ia pun diasingkan di sebuah tempat pembuangan sampah di luar kota tempat tinggalnya, dan tidak ada yang menemaninya kecuali istrinya yang selalu menjaga hak-hak dan membalas budi baik yang pernah dilakukan terhadap dirinya, serta adanya dorongan rasa belas kasihan kepadanya.”

Hingga pada akhirnya, Allah menyembuhkannya dan menilai Nabi Ayyub‘alaihissalam telah lulus dalam menghadapi ujian berat tersebut. Kemudian Allah memberinya gelar sebaik-baik hamba yang amat taat kepada Rabb-nya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala dalam al-Quran surat Shad ayat 44,

وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabbnya).”

Belajar Sabar dari Nabi Sulaiman‘alaihissalam
Berbeda nasib dengan Nabi Ayyub‘alaihissalam. Nabi Sulaiman‘alaihissalam, mendapat karuniakan kenikmatan begitu besar, melebihi hamba-hamba selainnya.

Kenikmatan tersebut berupa kerajaan yang menjulang tinggi; pasukan dari bangsa manusia, binatang serta kalangan jin; juga kemampuan untuk berkomunikasi dengan mereka semua; dan bahkan mampu memerintahkan angin untuk berhembus ke mana pun ia inginkan.

Tentang karunia kenikmatan tersebut, Imam al-Qurthubi dalam kitabnya al-Jami’ lil Ahkam al-Quran jilid 15 halaman 202-205 menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas,

“Di hadapan singgasana Nabi Sulaiman terdapat 600 kursi, para pembesar dari kalangan manusia duduk di dekat beliau. Kemudian di deretan berikutnya para pembesar dari kalangan jin. Sekawanan burung juga diperintah untuk menaungi mereka dan angin-angin diperintahkan untuk mengangkat mereka.”

Sedangkan tentang megahnya istana Nabi Sulaiman, al-Hafidz Abu Nu’aim menyebutkan riwayat dari Wahab bin Munabbih, bahwa istana beliau tersusun dari seribu lantai; lantai paling atas terbuat dari kaca; dan lantai paling bawah terbuat dari besi.

Namun semua kenikmatan tersebut disadari oleh Nabi Sulaiman sebagai ujian, yaitu agar ia menjadi hamba yang pandai bersyukur kepada Allah atas segala nikmat tersebut, dan pandai bersabar untuk tidak menggunakannya dalam kemaksiatan.

Nabi Sulaiman berkata sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran surat an-Naml ayat 40,

هَٰذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku pandai bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Barangsiapa yang bersyukur,sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Barangsiapa yang ingkar, sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”

Oleh karena itu, Nabi Sulaiman‘alaihissalam mampu bersabar dan kemudian menggunakan seluruh kenikmatan yang Allah karuniakan untuk pengabdian kepada Allah Ta’ala.

Akhirnya beliau pun dinyatakan lulus menghadapi ujian kekayaan dan kekuasaan itu, bahkan Allah memberinya gelar sebaik-baik hamba yang amat taat kepada Rabb-nya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat Shad ayat 30,

وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّا

“Dan Kami karuniakan kepada Dawud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amat taat (kepada Rabb–nya).”

Dari kedua kisah di atas, dapat kita simpulkan bahwa pandai bersabar dan pandai bersyukur merupakan kebaikan yang akan membuahkan kebaikan-kebaikan berikutnya. Sehingga Allah pun memuji dua golongan tersebut dengan sebaik-baik hamba yang amat taat kepada Rabb-nya.

Sabar dan syukur tidak dapat dipisahkan. Di balik sabar ada syukur dan di balik syukur ada sabar.

Siapa saja yang Allah uji dengan salah satu dari keduanya, tentu ia pasti mampu untuk melewati ujian tersebut, karena Allah tidak akan membebani seorang melainkan orang tersebut mampu untuk menjalaninya.

Demikian materi khutbah Jumat tentang belajar sabar dan syukur yang dapat kami sampaikan pada siang hari ini. Mari kita senantiasa belajar kepada Nabi Ayyub dan Nabi Sulaiman ‘alaihimassalam sebagai motivasi dalam mengarungi kehidupan. Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita hamba yang senantiasa mampu sabar dan syukur.

Sumber: Ulasan Dakwah Materi Khutbah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *